Sabtu, 19 November 2011
Dr. IL Nommensen
Mengenang 175 Tahun DR IL Nommensen, “Sang Rasul Batak”
DR Ingwer Ludwig Nommensen menjadi tokoh penting dalam sejarah orang Batak. Ia tak sekadar menyebarkan dan menancapkan dengan teguh pokok-pokok kekristenan. Nommensen tahu betul bahwa ajaran agama Kristen harus pula didukung melalui pembangunan pada manusia itu sendiri. Penyebaran agama yang dia usung juga disertai oleh pelayanan di seluruh sendi kehidupan utamanya di bidang pendidikan, kesehatan, maupun perekonomian. Nommensen juga sangat memahami bahwa pendekatan dalam rangka penyebaran agama tak boleh terlepas dari pengaruh budaya. Masyarakat Batak tak boleh terlepas dari budaya mereka.
Ingwer Ludwig Nommensen lahir pada 6 Pebruari 1834 di Nortdstrand, sebuah pulau kecil di pantai perbatasan Denmark dan Jerman. Dia adalah anak pertama dan lelaki satu-satunya dari empat orang bersaudara. Ayahnya bernama Peter dan ibunya Anna adalah keluarga yang sangat miskin. Sejak kecil, Nommensen sudah tertarik dengan cerita gurunya Callisen tentang misionaris yang berjuang untuk membebaskan keterbelakangan serta perbudakan pada anak-anak miskin. Meski masih anak-anak, Nommensen harus rela menghadapi kenyataan pahit, hidup dalam penderitaan. Pada umur 8 tahun, ia sudah mulai berjuang membantu orangtuanya mencari nafkah untuk sekadar bertahan hidup. Menggembalakan domba milik orang lain pada musim panas menjadi rutinitas Nommensen, sedangkan pada musim dingin ia bersekolah. Nommensen juga pernah bekerja sebagai buruh tani pada usia 10 tahun.
Kemiskinan ditambah harus menderita karena mengalami kecelakaan parah menggiring Nommensen mulai tertarik pada misi penginjilan. Pada umur 12 tahun, Nommensen terpaksa berbaring di tempat tidur selama berbulan-bulan akibat patah kaki. Teman-teman Nommensen biasanya datang menceritakan pelajaran dan cerita guru di sekolahnya, termasuk cerita pengalaman para pendeta yang pergi memberitakan injil ke suatu tempat yang belum disentuh ajaran Kristus. Cerita itu ternyata menjadi sebuah inspirasi baru bagi Nommensen hingga ia memutuskan bila sembuh kelak akan menjadi seorang misionaris. Dalam doa, Nommensen meminta kesembuhan, dan berjanji kalau disembuhkan maka ia akan pergi memberitakan injil kepada orang yang belum mengenal Tuhan. Doanya dikabulkan.
Beberapa tahun ia belajar sebagai calon penginjil. Ia pun melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein atau RMG Barmen. Nommensen lalu mematangkan pengetahuannya tentang injil dengan kuliah teologia pada 1857, ketika berusia 23 tahun, hingga ia lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober1861, yang kemudian membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862.
Nommensen di Tanah Batak
Selama berada di Tanah Batak, Nommensen telah mendirikan 510 sekolah dengan murid 32.700 orang, antara lain di Balige, Tarutung, Siantar, Sidikalang, Samosir, dan Ambarita. Setiap mengunjungi desa-desa dia selalu membawa kotak obatnya, dan berusaha menyembuhkan penyakit warga. Nommensen pulalah yang menciptakan hari pekan (onan) sekali seminggu di setiap pasar tradisional di kecamatan-kecamatan. Inilah yang sekarang kita kenal; Senin hari pekan di Laguboti, Selasa di Siborongborong, Rabu di Porsea, Jumat di Balige, dan Sabtu di Tarutung. Pada hari Kamis memang tidak ada pekan; hari ini dipakai oleh para pedagang [yang dijuluki inang parrengge-rengge] untuk belajar koor dan Alkitab; yang kemudian memunculkan istilah “Parari Kamis.”
Setelah resmi diutus dari RMG Barmen, Nommensen terlebih dulu menemui Dr. HN Van der Tuuk, yang pada 1849 telah diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak. Berbekal informasi dan pengetahuan tentang orang Batak, Nommensen memulai petualangannya ke Tanah Batak pada 24 Desember 1861. Ia berangkat dengan menumpang kapal Partinax menuju Sumatera dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862. Dari sana, ia kemudian meneruskan perjalanannya ke Barus melalui Sibolga.
Di sinilah Nommensen pertama kali bertemu langsung dengan orang Batak. Peluang menyebarkan agama Kristen dinilai Nommensen kurang tepat di daerah ini. Selain karena sudah masukya agama Islam, adanya nilai pluraritas antarsuku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar